Komisi Yudisial (KY) berencana membuka pendaftaran calon hakim ad hoc hak asasi manusia (HAM) maupun hakim agung jilid dua pada awal Mei 2023. Juru bicara KY Miko Ginting menuturkan hingga saat ini pihaknya belum membuka seleksi calon hakim ad hoc HAM maupun hakim agung.
“Belum (seleksi hakim), baru awal Mei rencananya. Diawali dengan konferensi pers pembukaan seleksi,” tegas Miko kepada Media Indonesia, Kamis (27/4/2023).
Terkait detil pastinya pembukaan seleksi dilakukan, Miko menegaskan pihaknya akan segera memberitahukan informasi tersebut. “Kami akan kabari informasi lebih lanjut,” tuturnya.
Adapun KY mengakui pihaknya membutuhkan calon potensial hakim ad hoc HAM maupun hakim agung sebanyak-banyaknya.
Seleksi jilid dua calon hakim ad hoc agung hak asasi manusia (HAM) telah menemui titik terang setelah sebelumnya sempat mandek. Mahkamah Agung (MA) telah mengirimkan surat permintaan seleksi hakim ad hoc kepada KY.
Seleksi perlu dilakukan kembali, imbas DPR hanya menyetujui tiga calon hakim agung dari delapan calon yang diajukan KY setelah melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan. Tanpa tedeng aling-aling, DPR bahkan tidak menyetujui satu pun dari tiga calon hakim ad hoc HAM.
Terpisah, anggota divisi pemantauan impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jane Rosalina Rumpia, menilai diulangnya proses seleksi hakim ad hoc HAM mengundang kekhawatiran.
Pasalnya tenggat kasasi paling lama 90 hari dari pendaftaran perkara sampai ke putusan dikeluarkan Pengadilan Tinggi.
Namun, kata Jane, jika melihat dari aturan tentu tidak diatur dengan jelas konsekuensi dari lamanya proses perkara yang melebihi batas pengaturannya.
“Preseden pengadilan HAM sebelumnya juga melebihi tenggat waktu yang ada seperti Abepura berkas kasasi diajukan Kejagung pada 5 Oktober 2005 dan diputus pada 25 Januari 2007, Pengadilan HAM ad hoc Timor Timur berkas Eurico Gutteres kasasinya diajukan 16 Agustus 2004 dan diputus pada 13 Maret 2006,” tutur Jane kepada Media Indonesia.
Untuk itu, Jane berpendapat bahwa MA tetap dapat menyelenggarakan proses kasasi ketika perangkatnya sudah siap dan pendaftarnya sudah cukup dan memadai.
Diketahui seleksi hakim ad hoc HAM memengaruhi pelaksanaan kasasi atas putusan bebas terdakwa perkara pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada peristiwa Paniai terhambat.
Majelis hakim Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri (PN) Makassar membebaskan terdakwa tunggal perkara Paniai, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu. Hal itu diungkap pada sidang putusan, Kamis (8/12/2022).
Selaku mantan Perwira Penghubung (Pabung) Kodim 1705/Paniai, dakwaan jaksa terhadap Isak atas pertanggungjawaban komando dinyatakan hakim tidak terbukti. Hakim menilai masih ada pihak-pihak lain yang layak bertangung jawab atas peristiwa yang menewaskan empat warga sipil pada 2014 itu.